Peradilan Agung Tercipta dari Hakim Agung Berintegritas
Anggota Komisi III DPR RI Muhammad Nasir Djamil menegaskan, peradilan agung di Indonesia dapat tercipta, jika para Hakim Agung maupun seluruh hakimnya memiliki integritas yang tinggi. Sehingga, dalam proses rekrutmen Calon Hakim Agung (CHA), baik saat di Komisi Yudisial yang kemudian diajukan ke Komisi III DPR RI, perlu dirumuskan format untuk menguji integritas setiap CHA.
Demikian dikatakan Nasir di sela-sela Rapat Konsultasi antara Komisi III DPR RI dengan Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali beserta jajaran di Ruang Kusuma Atmaja, Gedung MA, Jakarta, Senin (4/9/2017). Rapat dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi III DPR RI Trimedya Panjaitan (F-PDI Perjuangan). Rapat membahas mengenai kinerja MA dan kekosongan kursi hakim di tingkat MA.
“Kalau terkait hakim agung, soal yang paling krusial adalah soal integritas. Ini kan tidak dimiliki semua hakim agung. Maka perlu dirumuskan satu format integritas yang ada dalam calon hakim. Menurut saya, kompetensi, kapasitas dan profesionalisme itu akan semakin baik jika ditunjang integritas yang juga baik. Tiga hal itu tidak akan berarti apa-apa, jika sisi integritas diabaikan,” jelas Nasir.
Politisi F-PKS itu menambahkan, sisi integritas hakim agung perlu dibuka, sehingga tidak ada kekhawatiran di lingkungan peradilan Tanah Air. Pasalnya, hakim agung adalah pembina hakim-hakim di bawahnya. Sehingga, bagaimana mungkin hakim agung dapat membina, jika tidak mempunyai keteladanan.
“Selain membina dan mengawasi, hakim agung harus mempunyai integritas yang lebih. Di atas rata-rata hakim yang ada di bawahnya. Sehingga kita dapat mengembalikan peradilan yang agung. Karena hakim agung diharapkan bisa mengembalikan peradilan yang agung. Peradilan agung bisa terwujud jika hakim agung memiliki integritas,” ujar Nasir.
Nasir mengaku, pihaknya juga merasa dilema pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait posisi calon hakim agung yang hanya diusulkan satu calon. Padahal, sebelum adanya putusan MK itu, untuk mengisi satu posisi dikirim tiga calon. Misalnya, jika dibutuhkan lima hakim, maka akan diusulkan 15 calon yang dikirim ke DPR.
“Sekarang, DPR tidak punya pilihan. DPR juga tidak bisa memaksa calon yang tidak layak, hanya alasan untuk mengisi kekosongan hakim agung yang ada di MA. DPR jangan dipaksa melakukan (memilih CHA tak layak) itu,” imbuh Nasir.
Untuk itu, dengan adanya putusan MK itu, menjadi kerja keras bagi KY, untuk menghasilkan CHA yang mempunyai integritas. Sehingga, harus dicari solusi agar tidak ada penolakan CHA saat fit and proper test di Komisi III DPR.
“Ketika tidak punya pilihan, masak kita harus memaksa. Itu kembali kepada KY. Yakinkan DPR terkait calon. Sehingga harus mengajukan calon yang paling layak dan paling patut,” tutup politisi asal dapil Aceh itu.
Sebagaimana diketahui, MK telah memutuskan kewenangan DPR terhadap seleksi hakim agung hanya menyatakan setuju atau tidak terhadap usulan KY. Alhasil, DPR tidak memiliki pilihan atas usulan dari calon hakim agung.
Sementara itu sebelumnya, Ketua MA Hatta Ali mengaku pihaknya membutuhkan cukup banyak Hakim Agung. Namun terkait rekrutmen CHA diserahkan kepada Komisi III DPR dan KY. “Semoga bisa terpenuhi kamar-kamar yang masih kekurangan hakim, tapi tetap menjaga kuliatas hakim itu sendiri,” kata Hatta. (sf,mp) foto: azka